Model
Pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition)
Model pembelajaran AIR (Auditory, Intellectually, Repetition)
adalah model pembelajaran yang menganggap bahwa suatu pembelajaran akan efektif
jika memperhatikan tiga hal, yaitu Auditory,
Intellectually, and Repetition. Auditory berarti
indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara,
presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Intellectually berarti kemampuan
berpikir perlu dilatih melalui latihan
bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengkonstruksi, dan menerapkan. Repetition berarti pengulangan
diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan lebih luas,
siswa perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas, dan kuis.
Teori belajar yang mendukung model
pembelajaran AIR salah satunya adalah aliran psikologis tingkah laku serta
pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme.
Tokoh-tokoh dalam aliran psikologi tingkah laku diantaranya Ausubel dan Edwar
L. Thorndike. Teori Ausubel (Suherman, 2001) dikenal dengan belajar bermakna
dan pentingnya pengulangan sebelum pembelajaran dimulai. Teori Thorndike
(Suherman, 2001) salah satunya mengungkapkan
the law of exercise (hukum
latihan) yang pada dasarnya menyatakan bahwa stimulus dan respons akan memiliki
hubungan satu sama lain secara kuat jika proses pengulangan sering terjadi.
Semakin banyak kegiatan pengulangan dilakukan maka hubungan yang terjadi akan
semakin bersifat otomatis.
Sedangkan berdasarkan pendekatan paham
konstruktivisme, pembelajaran matematika adalah proses pemecahan masalah. Paul
(Uno, 2007) mengemukakan bahwa aliran kontruktivisme memandang bahwa untuk
belajar matematika yang terpenting adalah bagaimana membentuk pengertian pada
siswa. Dalam aliran ini siswa mempelajari matematika senantiasa membentuk
pengertian sendiri. Hal ini menekankan bahwa pada saat belajar matematika yang
terpenting adalah proses belajar siswa, guru hanya bertindak sebagai
fasilitator yang mengarahkan siswa, meluruskan, dan melengkapi sehingga
konstruksi pengetahuan yang dimilikinya menjadi benar sehingga siswa diberi
kesempatan menghayati proses penemuan atau penyususnan suatu konsep sebagai
suatu keterampilan.
a) Auditory
Auditory berarti indera
telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi,
argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Linksman (Alhamidi, 2006)
mengartikan auditory dalam konteks
pembelajaran sebagai belajar dengan mendengar, berbicara pada diri sendiri, dan
juga mendiskusikan idea dan pemikiran pada orang lain.
Mendengar merupakan salah satu aktifitas
belajar. Tidak mungkin materi yang disampaikan secara lisan oleh guru dapat
diterima dengan baik oleh siswa apabila siswa tersebut tidak menggunakan indera
pendengaran dalam arti lain mendengar. Hal ini berarti bahwa auditory sangat penting dalam memahami
materi.
Rahman (2006:24) mengungkapkan bahwa ada
beberapa kegiatan yang dapat menunjang dalam auditory ini salah satunya adalah dengan membentuk siswa kedalam
beberapa kelompok dan kemudian masing-masing kelompok diminta persentasi
bergantian. Dalam persentasi tersebut ada kelompok yang berbicara dan juga
kelompok yang mendengarkan, sehingga auditory
terlaksana.
Selain itu Rahman (2006:23)
mengungkapkan pula bahwa dalam KBM, sebagian besar proses interaksi siswa
dengan guru dilakuka dengan komunikasi yang melibatkan indera telinga. Selama
KBM berlangsung, guru dapat meminta siswa untuk mendengarkan, menyimak,
berbicara persentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat dan menaggapi dengan
menciptakan suasana demikian. Siswa dituntut untuk berpartisipasi aktif dan mengoftimalkan
pemanfaatan indera telinga sehingga interaksi antara telinga dan otak bisa
dimanfaatkan secara maksimal.
Dalam kegiatan pembelajaran sebagian
besar proses interaksi siswa dengan guru dilakukan dengan komunikasi secara
lisan dan melibatkan indera telinga. Guru harus mampu untuk mengondisikan siswa
agar mengoptimalkan indera telinganya, sehingga koneksi antara telinga dan otak
dapat dimanfaatkan secara optimal. Guru dapat meminta siswa untuk menyimak,
mendengar, berbicara, presentasi, berargumen, mengemukakan pendapat, dan
menanggapi sehingga menciptakan suasana belajar yang aktif.
Ada beberapa strategi belajar secara auditory yang dikemukakan oleh Meier
(Esa 2005:16) diantaranya:
· Mintalah
siswa berpasang-pasangan membincangkan secara terperinci hal-hal yang mereka
pelajari dan bagaimana menciptakannya
· Mintalah
siswa untuk membentuk kelompok dan berbicara pada saat mereka menyusun
pemecahan masalah membuat model, mengumpulkan informasi, atau menciptakan
makna-makna belajar.
b) Intellectually
Intellectually
diartikan sebagai belajar berfikir dan memecahkan masalah. Intellectually yaitu belajar dengan berpikir untuk menyelesaikan
masalah, kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta,
memecahkan masalah, mengonstruksi, dan menerapkan.
Menurut
Meier (Esa, 2005:17) bahwa intelektual menunjukkan apa yang dilakukan
pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan
kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman tersebut. Intelektual adalah
sebagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna.
Intelektual
adalah penciptaan makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk
berfikir, menyatukan pengalaman belajar. Intelektual menghubungkan pengalaman
mental, fisik, emosional, dan gerak tubuh untuk membuat makna baru bagi diri
sendiri, sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi
pengetahuan, dan pengetahuan menjadi pengalaman.
Meier
(Esa, 2005:17) mengatakan bahwa belajar intelektual yaitu belajar melalui
perenungan (tafakur), mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. Aspek
intelektual dalam belajar akan terlatih jika siswa diajak terlibat dalam
aktivitas seperti: memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, melahirkan
gagasan kreatif, mencari dan menyaring informasi, merumuskan pertanyaan, dan
menerapkan gagasan baru saat belajar. Intelektual menunjukkan kegiatan pikiran
siswa secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan
pengalamannya.
Menurut
Meier (Esa, 2005:17) bahwa dalam intelektual ada beberapa kegiatan diantaranya:
· Menganalisis,
memecahkan masalah, fokus, perhatian
· Menghubungka
informasi dan mensintesis
· Menilai,
membandingkan, memeriksa, dan mencocokkan
Guru harus berusaha untuk merangsang,
mengarahkan, memelihara, dan meningkatkan intensitas proses berfikir siswa demi
tercapainya pemahaman konsep yang maksimal pada siswa. Guru harus berusaha
mendorong siswa agar belajar secara berhasil.
c) Repetition
Belajar adalah pengulangan, prinsip
dasar pembelajaran adalah pengulangan. Dimyati dan Mudjiono, (2002:46)
mengemukakan bahwa ada tiga teori yang menekankan pentingnya pengulangan,
yaitu:
· Teori
psikologi daya. Belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang
terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, dan berfikir.
· Teori
psikologi dan asosiasi atau koneksionisme. Dengan hukum belajarnya law of exercise yang mengungkapkan bahwa
belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulasi dan respon, serta
pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya
respon benar.
· Teori
psikologi conditioning respon.
Belajar adalah pembentukan hubungan stimulasi dan respon.
Pengulangan yang dilakukan tidak berarti
dilakukan dengan bentuk pertanyaan ataupun informasi yang sama, melainkan dalam
bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Dengan pemberian
soal dan tugas, siswa akan mengingat informasi-informasi yang diterimanya dan
terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematis.
Dalam belajar masih diperlukan
pengulangan. Pengulangan sangat diperlukan dalam mendukung proses mengingat.
Mengingat merupakan salah satu proses yag cukup sulit, sehingga diperlukan
suatu cara khusus untuk dapat melakukan kegiatan tersebut. Hal-hal yang telah
dipelajari terkadang sulit untuk dimunculkan kembali atau bahka tidak
diproduksi lagi dalam daya ingat kita, maka ini dinamakan lupa.
Pengulangan beberapa kali dalam belajar
dapat membantu proses pemahaman yang mendalam dan mengatasi lupa, selain itu
pengulangan diharapkan dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa. Penguasaan
secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih
berarti, maka pengulangan masih diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Dimyati dan Mudjiono (2002:47)
mengungkapka bahwa implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah
kesadaran sswa untuk bersedia mengerjakan latihan-latihan yang berulang. Dengan
kesadaran ini diharapkan siswa tidak merasa bosan dalam melakukan pengulangan.
Bentuk prilaku pembelajaran yang merupakan implikasi pengulangan diantaranya
menghapal.